S4khra|Arrahmah.com – SR, relawan lembaga kemanusiaan Aksi Cepat
Tanggap (ACT) ‘menyelinap’ dan menyaksikan langsung bagaimana kejadian yang
menimpa etnis Rohingya di Rakhine State, Myanmar. Setiap kata yang terdengar
dari bibir SR seperti bergetar kala menceritakan kesaksiannya soal aksi
pembantaian yang terjadi terhadap Muslim Rohingya di Rakhine, Myanmar. Maklum,
baru sepekan ia tiba di Indonesia.
“Kondisi di sana benar-benar tragis. Pembantaian terjadi. Anak-anak,
perempuan, manula semua menjadi korban,” ujar SR seperti dikutip VIVA.
![]() |
| Pengungsi Muslim Rohingya Di Rakhine State yang melarikan diri ke Blangladesh |
SR mengaku sulit melukiskan dengan kata-kata soal apa yang dilihatnya selama sepekan di Rakhine. Hatinya benar-benar terenyuh. Ia hanya bisa membandingkan, jika pada tahun 2012 lalu ia pernah ke lokasi yang sama, maka tahun ini jauh berbeda.
“Tahun ini lebih ekstrem. Eskalasi kekerasan dan pembantaian ini mungkin
akan berlangsung terus sampai tiga atau empat bulan ke depan,” ujar SR.
SR mengaku, selama sepekan di Rakhine, ia bersama tim dari Sympathy of Solidarity
(SOS) Rohingya ACT, menyempatkan diri berkunjung ke beberapa kamp pengungsian
yang difasilitasi pemerintah atau lembaga internasional. Dari pengamatannya,
terkesan ada perbedaan nasib antar pengungsi. Khususnya bagi mereka yang muslim
dan non muslim, yakni Hindu atau Budha. Itu ditemui SR di beberapa kamp
pengungsi yang tersebar di Sittwe, Myanmar. Setidaknya dari 12 kamp pengungsian
yang ada, lanjut SR, terdapat beberapa orang pemeluk Budha. Jumlahnya diperkirakan
mencapai 900 orang. Lalu ada juga pengungsi yang beragama Hindu, dengan
estimasi jumlah mencapai 500 orang.
“Di kamp-kamp Budhis atau Hindu ini, orang-orang bisa bebas beraktivitas.
Mereka bisa bekerja, berjualan, dan lain-lain. Pengamanan juga tidak ketat,”
ujar SR.
Namun, kondisi berbeda untuk para pengungsi Muslim Rohingya. SR mengaku, akses untuk ke kamp ini begitu sulit dan berlapis. Hidup para
pengungsi juga begitu memprihatinkan.
“Ini aneh. Dan kami melihat dengan mata
kepala kami sendiri. Tidak ada masjid dan tidak ada azan di sini,” ujar SR.
Kesaksian lain yang juga mengejutkan SR, adalah merebaknya kabar
palsu yang terkesan diorganisir di wilayah Rakhine. Ini ditemukan SR dalam
sejumlah laporan di media lokal, yang menjadi sumber awal informasi mereka di
lapangan. Ternyata begitu berbeda dengan yang ada di lokasi.
“Di media dilaporkan, orang-orang Rohingya ini membakar rumah mereka
sendiri. Namun ini sangat tidak mungkin,” ujar SR.
Tak cuma itu, salah
satu yang cukup mengejutkan adalah tidak adanya kepedulian warga lain yang berada
di Myanmar. Ini didapatinya ketika ia iseng menanyakan langsung kepada warga
yang ditemuinya saat tiba di Yangon Myanmar tentang bagaimana kondisi di
Rakhine.
“Ditanya, mereka menjawab tahu (kondisi Rakhine). Tapi gimana ya,
senyap aja gitu,” ujar SR.
Bahkan, dalih militer Myanmar
yang mengaku sedang memburu teroris yang disebutnya dari kelompok The Arakan
Rohingya Salvation Army (ARSA), juga tak sepenuhnya bisa dipercaya. Sebabnya,
dalam kenyataannya di Rakhine, militer setempat hanya ingin membersihkan
wilayah Rakhine dari para penduduk yang didominasi etnis Rohingya.
“Bayangkan
saja, orang mempertahankan rumahnya malah disebut teroris. Ini nyata.
Pembantaian dan pembunuhan itu bukan hoaks,” ujar SR.
Kini SR mengaku
begitu sedih mengingat yang dialaminya meski cuma sepekan di jantung kekerasan
etnis Rohingya. Meski mengaku tak trauma, namun baginya pengalaman ini menjadi
sebuah kisah kelam yang benar-benar membekas. “Insya Allah, dengan Bismillah,
saya terima dengan segala konsekuensinya,” ujar SR.
Sumber:arrahmah.com


0 komentar:
Post a Comment