S4khra|Aceh merupakan propinsi yang terletak di ujung pulau Sumatera
dan merupakan propinsi paling barat di Indonesia. Propinsi ini memiliki jumlah
penduduk mencapai 5,1 juta jiwa dengan luas daratan sebesar 57.365,67 km2, dan
lautan mencapai 295.370 km2 serta memiliki garis pantai sepanjang 2.666,3 km.
Selain itu, Aceh juga memiliki 119 pulau dengan posisi geoekonomi dan
geopolitik yang sangat strategis, dimana sebelah utara dan timur berbatasan
langsung dengan Selat Malaka, sebelah selatan berbatasan langsung dengan
Provinsi Sumatera Utara dan sebelah barat berbatasan langsung dengan Samudera
Hindia. Dengan kondisi demikian, provinsi ini tentunya menyimpan potensi Sumber
Daya Alam (SDA) dan Sumber Daya Ikan (SDI) yang sangat besar. Bahkan, potensi
sumber daya ikan perairan Aceh mencapai 272,2 ribu ton/tahun. Sayangnya, hingga
saat ini potensi pembangunan ekonomi tersebut belum dimanfaatkan secara optimal
untuk kesejahteraan rakyat.
Harapan Baru
Prosesi Pemilihan Kepala Daerah
(Pilkada) serentak 2017 di Aceh yang meliputi pemilihan gubernur/wakil
gubernur, bupati/wakil bupati, dan wali kota/wakil wali kota di Aceh telah usai
dilaksanakan dan berjalan dengan baik pada 15 Februari lalu. Berdasarkan hasil
rapat pleno Komisi Independen Pemilihan (KIP) Aceh 2017, hasil rekapitulasi
suara dari 23 Kabupaten/Kota di Aceh menempatkan Pasangan Calon (Paslon)
Gubernur dan Wakil Gubernur Irwandi Yusuf-Nova Iriansyah unggul diurutan
pertama dengan 898.710 suara atau mencapai 37,21 persen dari total suara sah,
disusul oleh paslon Muzakkir Manaf-TA. Khalid pada urutan kedua dengan 766.427
suara atau sebesar 31,73 persen dari total suara sah. Artinya, pasangan
Irwandi-Nova unggul 132.283 suara atau mencapai 5,48 persen dari total suara
sah.
Pasca pleno KIP berlalu, berbagai isu mulai berkembang di tengah
-tengah masyarakat, mulai dari isu kecurangan, money politic dan berbagai isu
lainnya, sehingga gesekan kecil dan perang media sosial seakan menghiasi wajah
Serambi Mekah beberapa waktu yang lalu. Gugatan ke Mahkamah
Konstitusi (MK) merupakan jalan terakhir bagi sejumlah paslon
yang merasa dicurangi atau kecewa dengan hasil pleno KIP untuk mendapatkan
keadilan. Bahkan, tak kurang dari sembilan calon kepala daerah yang
mendaftarkan gugatan sengketa pilkada ke MK
(Aceh Timur, Bireun, Pidie, Kota Langsa, Aceh Utara, Aceh Singkil, Abdya, Nagan
raya, Gayo Lues dan Pilkada Gubernur Aceh).
Berdasarkan hasil sidang pleno MK, majelis hakim menyatakan,
para pemohon tidak memenuhi ketentuan pengajuan permohonan atau dengan kata
lain gugatan sengketa Pilkada Aceh ditolak kecuali Gayo Lues yang baru akan
diputuskan pada 11 April 2017 mendatang.
Terlepas dari hasil pleno KIP Aceh dan Putusan MK, Pilkada Aceh
tahun 2017 merupakan momentum untuk menentukan arah pembangunan Aceh dalam lima
tahun mendatang. Bagi Irwandi-Nova yang akan menjadi pemimpin Aceh pasca
berakhirnya pemerintahan dr Zaini Abdullah-Muzakir Manaf pada akhir Juni 2017
mendatang. Sedikitnya ada 5 permasalahan utama yang mendesak untuk diperbaiki
di Aceh. Pertama mengurangi angka kemiskinan yang semakin menjulang tinggi.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), angka kemiskinan di Aceh masih
sangat tinggi dan berada diatas rata-rata angka kemiskinan nasional. Pada tahun
2014 jumlah penduduk miskin di Aceh mencapai 837 ribu jiwa (16,98% dari total
jumlah penduduk) dan meningkat menjadi 859 ribu jiwa atau mencapai 17,11% pada
tahun 2015. Bahkan pada tahun 2015, persentase penduduk miskin di Aceh
menempati urutan Ke-2 sebagai provinsi termiskin di Pulau Sumatera, dan berada
pada urutan Ke-7 termiskin dari 34 provinsi di Indonesia. Sungguh ironi,
padahal Aceh merupakan provinsi yang kaya akan potensi sumber daya alam, baik
sumber daya alam yang dapat diperbaharui maupun sumber daya alam yang tidak
dapat diperbaharui. Bahkan, lebih tragis bila dibandingkan dengan daerah
tetangga, sebut saja provinsi Sumatera Barat, yang tingkat kemiskinannya hanya
6,71%. Padahal, anggaran pembangunan daerah Sumatera Barat hanya berkisar
sekitar Rp 4 triliun beberapa tahun terakhir ini, sedangkan anggaran
pembangunan daerah Aceh rata-rata mencapai Rp 12 triliun. Dengan kata lain,
anggaran pembangunan daerah Aceh hampir mencapai 3 kali lipat lebih besar
dibandingkan dengan provinsi Sumatera Barat.
Kedua, rendahnya pembukaan lapangan kerja sehingga menyebabkan
tingginya angka pengangguran. Berdasarkan data yang dirilis oleh Badan Pusat
Statistik (BPS), pada tahun 2014 tingkat pengangguran terbuka Aceh mencapai
9,02% dan meningkat menjadi 9,93% pada tahun 2015 (urutan Ke-1 dari 34 provinsi
di Indonesia). Hal ini sungguh menyesakkan dada, mengingat Aceh merupakan
salahsatu provinsi di Indonesia yang memiliki sumber daya alam yang begitu
melimpah dan merupakan daerah otonomi khusus.
Ketiga, rendahnya tingkat dan kualitas pendidikan masyarakat
Aceh. Salahsatu indikator yang dapat digunakan untuk mengetahui keberhasilan
bidang pendidikan ialah berdasarkan nilai persentase tingkat buta huruf.
Semakin tinggi angka persentase penduduk yang buta huruf maka semakin rendah
pula tingkat pendidikan di daerah tersebut, begitu pula sebaliknya. Berdasarkan
publikasi Aceh dalam angka 2016 menunjukkan, bahwa persentase penduduk yang
berumur 10 tahun ke atas yang buta huruf di Aceh mengalami peningkatan
dibandingkan tahun 2014, di mana pada tahun 2015 persentasenya mencapai 2,09%
meningkat sebesar 0,52% dibandingkan tahun 2014 yang hanya 1,57%. Tidak heran,
bila Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Aceh berada pada urutan Ke-5 dari 10
provinsi di Pulau Sumatera dan menempati urutan Ke-13 dari 34 Provinsi di
Indonesia.
Keempat, rendahnya pembangunan sarana dan prasarana serta
infratsruktur di beberapa daerah di provinsi Aceh, baik infrastruktur dasar
maupun infrastruktur penunjang, sebut saja jalan dan listrik. Jalan merupakan
kebutuhan utama masyarakat dalam melakukan trasnportasi dari satu daerah ke
daerah lainnya. Berdasarkan infromasi BPS, pada tahun 2015 panjang jalan di
Aceh mencapai 2.102,07 km dan hanya 1.334,08 km dalam kondisi baik (63,46%).
Artinya, hampir 40 persen kondisi jalan di Aceh masih perlu diperbaiki dan
ditingkatkan. Selain itu, problem yang sudah menjadi turun temurun dan mendarah
daging di provinsi Aceh ialah keterbatasan suplay energi listrik, bahkan hampir
setiap hari mengalami pemadaman listrik di Aceh. Padahal, Aceh merupakan daerah
yang kaya raya dan memiliki potensi energi yang besar untuk dimanfaatkan
sebagai sumber energi alternatif. Sebut saja potensi energi panas bumi,
batubara, energi arus laut dan potensi energi tenaga surya atau matahari.
Sayangnya, hingga saat ini potensi energi tersebut belum dapat dioptimalkan
dengan baik dan kebutuhan enegri listrik masih tergantung suplay dari daerah
tetangga.
Selain, tingginya angka kemiskinan dan pengangguran, serta
rendahnya tingkat pendidikan, dan pembangunan sarana dan prasarana,
permasalahan utama yang mendesak yang harus dibenahi ialah tata kelola
pemerintahan. Tata kelola pemerintahan dalam artian pembenahan dan
penyederhanaan struktur dan organisasi dalam pemerintahan tersebut. Selain itu,
pembersihan (sterilisasi) setiap dinas dan instansi dari perilaku dan mental
korup (keserakahan) para pejabat, baik korupsi dalam hal keuangan maupun
korupsi dalam hal waktu. Artinya, tidak bekerja sesuai dengan tugas, pokok dan
fungsi (Tupoksi) yang telah berlaku dan sesuai dengan Standar Operasional
Prosedur (SOP). Semua isu dan permasalahan diatas sangat mendesak untuk dapat
dituntaskan dengan semaksimal mungkin dan dalam tempo waktu secepat mungkin,
mengingat anggaran pembangunan dana Otonomi Khusus (Otsus) provinsi Aceh yang
akan berkurang setengah pada tahun 2023 dan akan habis pada 2028 nanti.
Transformasi Pembangunan
Banyak faktor yang menyebabkan ironi
ini terjadi, salahsatu yang paling menonjol ialah fenomena ganti pemerintahan
ganti kebijakan. Hal ini merupakan penyakit utama bangsa Indonesia, bahkan
melanda hampir di setiap daerah dan instansi pemerintahan. Faktor penyebab
utamanya ialah ego sektoral dan keserakahan yang mendominasi (Hubbud Dunya).
Padahal, mencintai dunia secara berlebihan (Hubbud Dunya) merupakan induk
segala kesalahan (maksiat) serta perusak agama. Oleh karena itu, pemimpin terpilih
harus menjadi teladan bagi seluruh jajaran dan bawahannya, baik secara
kata-kata maupun secara kinerja yang dibuktikan dengan segudang prestasi dalam
membangun Aceh lima tahun mendatang.
Selain itu, Gubernur dan Wakil Gubernur Aceh terpilih juga harus
menghindari proyek ghaib (tidak jelas) serta harus fokus pada program
pembangunan yang berdampak langsung terhadap pemberdayaan masyarakat baik untuk
jangka pendek, jangka menengah maupun dalam jangka panjang. Hal ini dapat
terwujud, apabila pemimpin mempunyai visi dan misi yang jelas, bijaksana dan
memiliki konsep pembangunan yang berkelanjutan (sustainable development).
Melihat begitu kompleksnya dinamika permasalahan di Aceh saat
ini, sudah saatnya semua elite politik Aceh
bergandengan tangan dan bahu membahu dalam membangun Aceh. Apapun hasil
ketetapan KIP dan putusan MK dalam Pilkada Aceh tahun 2017, mari kita syukuri
dan ambil hikmahnya. Hal ini sesuai dengan anjuran Allah Swt dalam firman-Nya,
“Boleh jadi kamu membenci sesuatu padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi
pula kamu menyukai sesuatu padahal ia amat buruk bagimu, Allah mengetahui
sedang kamu tidak mengetahui.” (QS. Al-Baqarah: 216). Saat ini, merupakan
momentum yang tepat untuk bekerja sama dan sama-sama bekerja dalam membangun
Aceh menjadi daerah yang lebih baik, lebih maju, lebih sejahtera dan menjadi
role model (teladan) pembangunan sesuai dengan harapan dan cita-cita
perjuangan. Kalau bukan sekarang, kapan lagi? Kalau bukan kita, siapa lagi?
Mari berjuang
Oleh : Rahmad Mukhtar
Sumber:aceh.tribunnews.com


0 komentar:
Post a Comment